IMUNISASI, MASIH PERLUKAH?

39878787_1975646112480762_1218522843675885568_n
WHO on Facebook
Belakangan ini, berbarengan dengan program imunisasi campak dan rubella (MR) oleh pemerintah, timbul kontroversi penggunaan vaksin MR tersebut, terutama bagi masyarakat muslim yang meragukan kehalalan dari vaksin MR tersebut. Sehingga, tidak lama kemudian MUI mengeluarkan fatwa nomor 33 tahun 2018 mengenai penggunaan vaksin MR yang berasal dari Serum Institute of India (SII) dan menyatakan bahwa vaksin tersebut adalah haram, namun tetap boleh diberikan karena tidak ada alternatif vaksin lain dan kondisi darurat.  Nah, disini saya akan membahas dengan sesederhana mungkin dan dengan seefektif mungkin seputar vaksinasi berdasarkan fakta medis yang ada.

Tapi sebelum itu saya memiliki tiga artikel rujukan awal yang mungkin harus kalian baca terlebih dahulu sehingga kalian dapat mengerti apa yang akan saya bahas setelah ini :
  1. Apakah Vaksin Mengandung Babi? – Ikatan Dokter Anak Indonesia
  2. Soal Vaksin, Mengenal Tiga Teori Fiqih: Istihalah, Istihlak dan Darurat
  3. Kemenkes Tegaskan Vaksin MR Tak Mengandung DNA Babi
Baik, kita mulai dari kekebalan tubuh manusia. Pada dasarnya manusia memiliki 2 jenis kekebalan tubuh, yaitu kekebalan tubuh aktif dan pasif. Masing-masing kekebalan terbagi atas dua lagi, yaitu alami dan buatan(1).
  1. Kekebalan tubuh aktif alami contohnya adalah terbentuknya pasukan imun karena terinfeksi virus/bakteri secara alamiah, sedangkan buatan contohnya adalah pemaparan virus/kuman secara sengaja kedalam tubuh sehingga tubuh membentuk pasukan imunnya sendiri, atau yang kita kenal sebagai imunisasi.
  2. Sedangkan kekebalan tubuh pasif alami contohnya adalah pemberian ASI pada bayi (ASI pertama sangat banyak mengandung kolostrum, yaitu sel imun yang sudah jadi dan dibutuhkan oleh bayi untuk pertahanan kesehatan pertama kalinya). Sedangkan kekebalan tubuh pasif buatan contohnya ketika kita tergigit ular dan diberikan antiserum yang isinya sel imun yang sudah terekstrak dan dapat bekerja langsung, sehingga tidak perlu menunggu tubuh membentuk sel imun tersebut.
Nah kenapa imunisasi itu penting dan sampai dijadikan program wajib (imunisasi dasar)? Jadi, imunisasi itu proses meningkatkan kekebalan tubuh baik dengan cara aktif maupun pasif, sedangkan vaksinasi merupakan pemberian antigen (sebuah kata untuk menyebutkan bagian dari virus/bakteri/senyawa racun/dll) agar memicu pembentukan pasukan imun untuk melawan antigen yang masuk ke tubuh. Bila ada antigen masuk tubuh, maka tubuh akan berusaha menolaknya dengan membuat zat anti.

Reaksi tubuh pertama kali terhadap antigen, berlangsung lambat dan lemah, sehingga tidak cukup banyak antibodi (sebuah kata untuk menggambarkan pasukan imun tubuh yang dibentuk oleh sistem imun) terbentuk. Pada reaksi atau respon kedua, ketiga dan selanjutnya tubuh sudah mengenal antigen jenis tersebut. Tubuh sudah pandai membuat zat anti, sehingga dalam waktu singkat akan dibentuk zat anti yang lebih banyak. Setelah beberapa lama, jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang. Untuk mempertahankan agar tubuh tetap kebal, perlu diberikan antigen/ suntikan/imunisasi ulang sebagai rangsangan tubuh untuk membuat zat anti kembali(2).

"Tapi serem loh masa tubuh kita dikasi virus, bakteri, racun macam-macam, kan buat penyakit!"

Nah, jadi disini saya jelasin dulu vaksin itu apa.

Kata “vaksin” berasal dari bahasa Latin yaitu Variolae vaccinae (cowpox), yang dikenalkan oleh Edward Jenner pada 1798, dimana vaksin ini dapat mencegah cacar pada manusia. Sekarang, istilah 'vaksin' berlaku untuk semua persiapan biologis, yang dihasilkan dari organisme hidup, yang meningkatkan kekebalan terhadap penyakit dan mencegah (vaksin profilaksis) atau, dalam beberapa kasus, mengobati penyakit (vaksin terapeutik). Vaksin diberikan dalam bentuk cair, baik melalui suntikan, melalui mulut, atau dengan rute intranasal. Vaksin dapat dibuat dari mikroorganisme yang dilemahkan (live-attenuated) atau yang telah diinaktivasi, dapat juga berupa selubung protein atau DNA, racun inaktif (toxoid), maupun dari karbohidrat khas mikroorganisme itu sendiri. Lebih jelasnya dan contoh vaksinnya, kita bisa lihat tabel dibawah(3) :

m.png
Jenis-jenis vaksin dan contohnya (Vaccine Fact Book 2012)
Jadi, kesimpulannya : imunisasi bertujuan untuk membuat tubuh punya persiapan pasukan khusus untuk setiap musuh yang berbeda-beda. Pada imunisasi tentu kita tidak menggunakan musuh nyata untuk dimasukkan kedalam tubuh, namun kita menggunakan musuh lemah ataupun hanya salah satu bagian dari tubuh musuh yang dikenalkan kedalam tubuh. Tujuannya apa? Agar sistem imun dapat membuat senjata yang cocok untuk membunuh musuh tersebut, sehingga pada serangan musuh yang nyata tubuh kita sudah siap dengan senjata tersebut dan akan menjadi lebih mudah untuk menghancurkan musuh yang masuk. Bayangkan jika tubuh tidak melakukan persiapan dan tidak mengetahui cara mengalahkan musuh A, dan tiba-tiba tubuh diserang dan otomatis tubuh akan bertaruh waktu untuk membentuk senjata sekaligus mengalahkan musuh A apa adanya, otomatis kerusakan yang terjadi akan lebih besar dan fatal dibandingkan ketika tubuh sudah punya persiapan senjata diawal.

Namun, perlu dimengerti bahwa vaksin tidak 100% menjamin kita tidak akan terkena penyakit yang sudah dikenalkan tersebut, kita bisa jadi jatuh sakit namun tidak akan parah, karena ketika daya tahan tubuh melemah kita akan mudah rentan sakit. Namun tetap kembali pada contoh yang telah saya paparkan diatas, derajat kesakitan akan lebih ringan dibandingkan dengan orang yang tidak pernah divaksin.

Vaksin bertujuan untuk mencegah transmisi sebuah mikroorganisme, bukan untuk mengobati sebuah penyakit. Ribuan tahun yang lalu, virus Variola (virus smallpox) muncul dan mulai menyebabkan penyakit dan kematian pada populasi manusia, dengan wabah cacar terjadi dari waktu ke waktu. Berkat keberhasilan vaksinasi, wabah cacar alami terakhir di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1949. Pada tahun 1980, World Health Organization (WHO) menyatakan smallpox telah diberantas (dihilangkan), dan tidak ada kasus cacar terjadi sejak itu(4). Saat ini cacar yang masih menyerang manusia adalah cacar air, yang disebabkan oleh virus berbeda, yaitu virus Varicella.

Seberapa penting vaksinasi MR?

Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara dengan kasus campak terbanyak di dunia. Setiap tahun melalui kegiatan surveilans dilaporkan lebih dari 11.000 kasus suspect campak dan dari hasil konfirmasi laboratorium, 12 – 39% diantaranya adalah campak pasti (lab confirmed) sedangkan 16 – 43% adalah rubella pasti. Dari tahun 2010 sampai 2015, diperkirakan terdapat 23.164 kasus campak dan 30.463 kasus rubella. Jumlah kasus ini diperkirakan masih rendah dibanding angka sebenarnya di lapangan, mengingat masih banyaknya kasus yang tidak terlaporkan, terutama dari pelayanan swasta serta kelengkapan laporan surveilans yang masih rendah(5).

Gejala penyakit Campak adalah demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit disertai dengan batuk, pilek dan mata merah (konjungtivitis). Campak dapat menyebabkan komplikasi yang serius seperti diare, radang paru peunomia, radang otak (ensefalitis), kebutaan, gizi buruk dan bahkan kematian(6).

Rubella merupakan penyakit yang disebabkan oleh togavirus jenis rubivirus dan termasuk golongan virus RNA. Virus tersebut dapat melalui sawar plasenta sehingga menginfeksi janin dan dapat mengakibatkan abortus atau congenital rubella syndrome (CRS). Masa inkubasi rubella berkisar antara 14 – 21 hari. Gejala dan tanda rubella ditandai dengan demam ringan (37,2°C) dan bercak merah/rash maculopapuler disertai pembesaran kelenjar limfe di belakang telinga, leher belakang dan sub-occipital (belakang kepala). Rubella pada anak sering hanya menimbulkan gejala demam ringan atau bahkan tanpa gejala sehingga sering tidak terlaporkan. Sedangkan rubella pada wanita dewasa sering menimbulkan arthritis atau arthralgia. Rubella pada wanita hamil terutama pada kehamilan trimester 1 dapat mengakibatkan abortus atau bayi lahir dengan CRS(5).

Lalu, bagaimana yang katanya vaksin itu terbuat dari babi?


Di awal tulisan saya sudah meminta kalian untuk membaca 3 artikel penting, yang akan saya singgung lagi disini. Jadi, sebenarnya vaksin tidak terbuat dari babi, saya sudah memaparkan diatas bahwa komponen vaksin itu bisa terbuat dari mikroorganisme apa saja. Hanya saja disini enzim tripsin yang digunakan memang berasal dari babi, karena sejauh ini saya melihat perkembangan dunia teknologi vaksin masih terus berkembang dan berusaha mencari alternatif bahan kimia lain pengganti tripsin ini, namun hanya belum mendapatkan komponen yang pas atau susah untuk diolah. FYI, penemuan obat baru ataupun vaksin tidak secepat yang kalian pikir ya, karena ada standar dan protokol yang harus diikuti oleh ilmuwan dalam meneliti sebuah obat. Dibutuhkan bertahun-tahun untuk uji praklinik dan uji klinik (yang terbagi lagi fase 1-4) sebelum akhirnya obat tersebut dinyatakan layak untuk didistribusikan di masyarakat. Bahkan tak jarang, ada obat-obat yang sudah ditarik lagi dari pasaran setelah berpuluh tahun beredar karena terbukti menimbulkan efek samping bagi manusia.

screen20shot202017-05-1620at2011-24-2120am
Apakah vaksin mengandung babi? - IDAI
Disini kita bisa sama-sama melihat bahwa enzim tripsin dianalogikan sebagai sebuah gunting yang hanya berperan untuk memotong-motong makanannya si bakteri meningitis, hingga hasil akhirnya adalah makanan yang telah dimakan lalu diproses oleh pencernaan bakteri tersebut dan bakteri itu mengeluarkan senyawa kimia yang akan digunakan sebagai vaksin, yaitu polisakaridanya. Didalam artikel IDAI juga menyebutkan bahwa hasil akhir dari proses tersebut juga mengalami proses purifikasi hingga 1/67,5 milyar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin.

Namun kegalauan terbesar masih tentang halal-haramnya, jika mengacu pada konsep Istihalal dan Istihlak itu sendiri, maka ada pendapat yang setuju bahwa vaksin itu sendiri masuk kedalam konsep Istihalal dan Istihlak. Meskipun pada kenyataannya memang bahan utama yang digunakan bukanlah berasal dari barang haram, hanya bersinggungan dan kemudian dibersihkan hingga bermilyaran kali.

Tetap, saya menghormati fatwa MUI sebagai pedoman bagi umat muslim yang bimbang dengan hal ini. Namun, saya juga perlu mengingatkan bahwa poin-poin fatwa MUI tersebut tidak berdiri sendiri, vaksin MR memang haram karena bersinggungan dengan zat haram, namun di poin selanjutnya MUI menegaskan bahwa vaksin MR bersifat boleh karena belum ada alternatif vaksin lain sampai saat ini dan bersifat darurat. Sehingga pada kesimpulannya vaksin MR boleh digunakan oleh masyarakat muslim karena hanya ini satu-satunya cara untuk mencegah penyakit campak dan rubella itu sendiri. Tetapi, pada masyarakat anti vaksin, mereka hanya menggunakan fatwa pertama tanpa melihat fatwa selanjutnya, sehingga seakan-akan bahwa keseluruhan fatwa MUI tidak memperbolehkan umat muslim menggunakan vaksin ini. Vaksin MR sama halnya seperti vaksin polio dulu, sama-sama diberi fatwa MUI haram karena bersinggungan dengan babi, namun tetap diperbolehkan menggunakannya karena tidak adanya alternatif lain.

"Bersifat darurat darimana? Toh kita saat ini sehat-sehat saja tanpa vaksin"

Masyarakat sering salah kaprah dengan mengatakan "sehat tanpa vaksin", "orang zaman dulu juga sehat tanpa vaksin", "vaksin bikin sakit dan bodoh".

Pertama, orang-orang yang tidak divaksinasi dan sehat wal-afiat harus mengerti konsep herd immunity, mereka terlindungi dari penyakit karena tinggal di daerah dengan mayoritas orang-orang disekitar mereka merupakan orang-orang yang immune (telah divaksinasi) sehingga analogikan saja orang non-immune berada dikelilingi oleh benteng (orang-orang immune). Namun, sekali orang tersebut terkena penyakit, maka tetap berpotensi  sangat besar menularkan ke orang-orang dengan immunodeficiency (orang sakit, orang tua, pasien HIV, pasien kanker, anak-anak, dsb).

Zaman dulu sehat tanpa vaksin? Mungkin kita harus memahami mengenai evolusi makhluk hidup, dimana bukan hanya manusia saja yang harus beradaptasi untuk bertahan hidup, namun virus/bakteri juga. Tidak asing lagi di telinga kita mendengar kabar bahwa zaman sekarang penyakit hewan dapat menyerang manusia juga, ataupun tiba-tiba muncul penyakit baru yang tidak pernah ada sebelumnya. Tentu, faktor perkembangan zaman juga jangan kita lupakan, perubahan lingkungan yang ekstrem juga akan memaksa bakteri/virus bertahan hidup dan mengubah pola penyebaran penyakit di masyarakat. Lalu, jangan lupa program imunisasi sudah dicanangkan oleh pemerintah sejak lama. Indonesia telah dinyatakan bebas polio oleh WHO sejak tahun 2014, dan hingga saat ini kondisi tersebut masih terus dijaga dengan adanya imunisasi dasar wajib yang mencakup polio(7).

Terakhir, vaksin katanya bikin sakit dan bikin bodoh! Wah, sepertinya kita harus memahami bahwa minum paracetamol saja juga bisa menimbulkan efek samping pada orang-orang tertentu. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah istilah untuk suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi(8). Perlu diingat bahwa manusia dapat memiliki sifat alergi terhadap sesuatu zat, baik itu makanan maupun benda, hal ini berlaku untuk imunisasi. Dimana dalam istilah medis dikenal reaksi anafilaksis, yaitu reaksi imun yang berlebihan atau alergi terhadap zat yang masuk kedalam tubuh. Reaksi ini bersifat cepat dan umumnya berupa bengkak, kemerahan pada bagian tubuh tertentu, gatal, berdebar-debar, berkeringat, hingga untuk alergi berat dapat menimbulkan kematian karena syok anafilaktik (kehilangan kesadaran hingga henti napas) dan dapat diselamatkan dengan pemberian adrenalin/epinephrine(9).

Tidak semua KIPI adalah akibat dari imunisasi. Dalam penegakkan diagnosis untuk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai berapa besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu; bagaimana sifat kelainan tersebut, lokal atau sistemik; bagaimana derajat kesakitan resipien, apakah memerlukan perawatan, apakah menyebabkan cacat, atau menyebabkan kematian; apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti; dan akhirnya apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan pemberian.

Berdasarkan data yang diperoleh, maka KIPI dapat diklasifikasikan(8) :
1. Induksi vaksin (vaccine induced). Terjadinya KIPI disebabkan oleh karena faktor intrinsik vaksin terhadap individual resipien. Misalnya, seorang anak menderita poliomielitis setelah mendapat vaksin polio oral.
2. Provokasi vaksin (vaccine potentiated). Gejala klinis yang timbul dapat terjadi kapan saja, saat ini terjadi oleh karena provokasi vaksin. Contoh: Kejang demam pasca imunisasi yang terjadi pada anak yang mempunyai kecenderungan khusus ke kejang.
3. Kesalahan (pelaksanaan) program (programmatic errors). Gejala KIPI timbul sebagai akibat kesalahan pada teknik pembuatan dan pengadaan vaksin atau teknik cara pemberian. Contoh: terjadi indurasi (bentol) pada bekas suntikan disebabkan vaksin yang seharusnya diberikan secara intramuskular (otot) diberikan secara subkutan (didalam kulit sebelum otot).
4. Koinsidensi (coincidental). KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain yang sedang diderita sehingga memberatkan penyakit yang diderita. Contoh: Bayi yang menderita penyakit jantung bawaan mendadak sianosis setelah diimunisasi.

Untitled
Gejala KIPI(8)
Tapi, pada dasarnya kejadian KIPI ini sangat kecil insidennya. Pada anak, KIPI yang paling serius adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 1 dalam 50.000 dosis DPT (whole cell pertussis), tetapi yang benar-benar anafilaksis hanya 1-3 kasus di antara 1 juta dosis. Anak besar dan dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik hiporesponsif (respon dan gerak yang kurang) juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi(8). Sehingga dalam penentuan KIPI, pihak medis akan sangat teliti menelusuri riwayat kesehatan, perjalanan penyakit, dan lain sebagainya untuk menegakkan diagnosis KIPI. 

Standar keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat-obatan. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya produk farmasi diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Akibatnya, toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obat-obatan untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu diobservasi beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi perlu dilakukan sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi paling sedikit selama 15 menit(10).

Saya simpulkan bahwa KIPI merupakan insidens yang sangat kecil terjadi di masyarakat, namun tidak bisa kita hindari kehadirannya. Petugas kesehatan dan pihak yang terkait juga sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menekan angka KIPI dengan meningkatkan mutu vaksin dan pelayanan imunisasi itu sendiri. Serta dapat kita sadari bahwa manfaat dari imunisasi jauh lebih besar dibandingkan dengan efek samping ringan yang sering terjadi yaitu nyeri dan demam pada anak. Sehingga, tidak ada kepentingan untuk membuat bodoh ataupun membuat sakit. Karena jika kesehatan warga negara tidak baik, maka akan menimbulkan beban bagi negara akibat tingginya angka kesakitan dan kematian yang tentu akan menurunkan produktivitas dalam bekerja, maupun penggunaan dana jaminan kesehatan yang habis cuma-cuma untuk menangani sebuah penyakit yang sebenarnya dapat dicegah bersama.

Saya hampir jengah menghadapi orang-orang yang bingung dan menolak untuk vaksinasi, saya kasihan melihat mereka yang mendebatkan suatu hal hanya berdasarkan argumentasi dan data-data hoax yang bertebaran di internet. Beberapa minggu yang lalu saya menonton sebuah video dosen bergelar doktor sekaligus pemuka agama yang dengan percaya diri mengatakan bahwa vaksin terbuat dari darah anjing, darah PSK, dan vaksin merupakan senjata untuk pembodohan serta penghancuran suatu umat. Lucu rasanya melihat orang-orang seperti ini mendapatkan panggung dan di-iyakan oleh sebagian orang. Saya sampai tidak punya kata-kata lagi untuk mendeskripsikan perasaan saya melihat fenomena media sosial saat ini. Semua informasi membanjiri gadget semua orang namun kadang tidak dibarengi dengan memfilter yang mana informasi menyesatkan dan mana informasi yang benar.

Lalu, di grup Whatsapp juga tak kalah serunya, saya sendiri yang terpaksa turun tangan untuk mencoba meluruskan argumentasi seseorang yang mengatakan "mengapa target imunisasi hanya untuk muslim sedangkan non-muslim dibiarkan untuk melarang anaknya diimunisasi".

Hey bro, imunisasi tidak memandang agama atau suku. Imunisasi itu mencakup semuanya, biarpun kamu anak Thanos juga tetap harus diimunisasi, supaya tidak menjadi penyebar penyakit kepada orang-orang yang rentan. Memang terlihat fokus pemerintah seakan-akan saat ini hanya untuk satu golongan saja, namun hal ini seharusnya dapat dimengerti karena memang permasalahan halal-haram adalah permasalahan umat yang lebih banyak sehingga perlu perhatian lebih. Sisanya? Mungkin tidak bermasalah diseputar halal-haram, namun mereka bermasalah di KIPI. Ada banyak faktor yang bisa membuat seseorang tidak ingin divaksin, dan saat ini faktor terbesar adalah masalah halal-haram yang sedang diprioritaskan.

Dari semua hal yang telah saya coba paparkan, tentu kita perlu menyadari pentingnya kepedulian kita dalam menekan penyebaran penyakit didalam masyarakat. Program vaksin MR merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mengurangi angka kejadian campak dan congenital rubella syndrome (CRS) yang cukup tinggi di Indonesia(11). Karena sejauh ini virus campak dan rubella belum ada obatnya, sehingga yang bisa kita lakukan adalah mencegah virus ini menginfeksi ibu hamil dan anak-anak disekitar kita. Diperlukan cakupan 95%, untuk membentuk kekebalan kelompok masyarakat terhadap virus Campak saat ini.

40233542_10156153827124262_8176043157918580736_n
Cakupan Imunisasi di Daerah Kalimantan Barat yang masih belum mencapai 95%, mengutip sebuah postingan seorang dokter yang saat ini merupakan dosen di FK UNTAN.

Selain itu, program vaksinasi perlu dimengerti sebagai upaya pencegahan terjadinya penyakit yang berpotensi menjadi wabah di dalam masyarakat, tentu kemarin kita sempat terancam oleh wabah difteri yang muncul di beberapa provinsi di Indonesia. Sudah pasti kita tidak mau wabah tersebut terjadi dulu baru kita sibuk mencari vaksin, bukan? Karena tetap mencegah lebih baik daripada mengobati.
Daftar Pustaka
  1. Active and passive immunity, vaccine types, excipients and licensing. (https://pdfs.semanticscholar.org/b2e3/2e869b9d177a6994dadaef0c4097c1690cd3.pdf)
  2. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2013. Keterampilan Imunisasi. Modul Field Lab Edisi III.
  3. (Basic Concept of Vaccination, Vaccine Fact Book 2012. http://www.phrma-jp.org/wordpress/wp-content/uploads/old/library/vaccine-factbook_e/1_Basic_Concept_of_Vaccination.pdf)
  4. Smallpox (https://www.cdc.gov/smallpox/index.html)
  5. Kemenkes RI. 2017. Petunjuk Teknis Kampanye Imunisasi Measles Rubella (MR).
  6. Daftar Pertanyaan Seputar Imunisasi Campak/Measles dan Rubella (MR). (http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/daftar-pertanyaan-seputar-imunisasi-campak/measles-dan-rubella-mr)
  7. Apa yang Perlu Diketahui Orangtua tentang Pekan Imunisasi Nasional Polio 2016. (http://www.idai.or.id/artikel/klinik/imunisasi/apa-yang-perlu-diketahui-orangtua-tentang-pekan-imunisasi-nasional-polio-2016)
  8. H. Sri Rezeki S. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Sari Pediatri. 2010;2(1):2-10
  9. Anaphylaxis. (https://acaai.org/allergies/anaphylaxis)
  10. World Health Organization. Surveillance of adverse events following immunization. Field guide for managers of immunization programmes. Geneva: WHO, 1997.
  11. Hospital-based surveillance of congenital rubella syndrome in Indonesia. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/28091778/)

0 Comments