Berpendapat : Bendera & Agama

 


Akhir-akhir ini sedang heboh sebuah kasus pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser) pada perayaan Hari Santri Nasional 2018 kemarin. Bendera tersebut digadang-gadang merupakan sebuah identitas dari organisasi masyarakat Islam yang sudah dilarang pemerintah keberadaannya yaitu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Lalu bagaimana?

Tulisan ini akan membahas bagaimana pandanganku sendiri mengenai kasus tersebut, dari awal yang bisa aku simpulkan saat ini bahwa sangat banyak teman-teman medsosku yang "mencekal" peristiwa tersebut. Namun, menurutku ada sesuatu bagian yang "terselewengkan" dan menjadi sebuah bahan empuk untuk menimbulkan gesekan di masyarakat.

Pertama-tama, hal yang aku khawatirkan saat melihat & membaca berita bahwa telah terjadi peristiwa pembakaran tersebut adalah reaksi kemarahan dari masyarakat. Dan ternyata hal tersebut terjadi dan mendapat respon yang luar biasa masif menurutku. Hal kedua yang aku takutkan adalah, peristiwa tersebut digunakan oleh oknum-oknum nakal untuk semakin menguatkan narasi "anti Islam", "rezim thogut", "umat Islam ditindas", "alergi simbol-simbol Islam", dll, yang mana semua narasi tersebut menurutku ujung-ujungnya akan menghasilkan sebuah konklusi : sistem pemerintahan demokrasi tidak menaungi umat Islam dan harus diganti dengan sistem (mencakup susunan pemerintahan) yang baru, dan ini akan cenderung menggiring ke perilaku ekstremisme, radikalisme, dan paling parah yaitu terorisme. Ditambah dengan adanya narasi tersebut akan semakin membuat kepercayaan masyarakat menurun, baik terhadap NU dan sudah pasti terhadap pemerintah.



Bukannya aku tidak cinta dengan agamaku sendiri maupun hanya sekedar "Islam KTP", aku juga bertanya kepada diriku;

"Kenapa ya aku tidak merasa apa yang mereka (orang-orang yang turun ber-aksi dijalan)? Apa karena aku kurang agamis?"

Hmm, aku ragu, menurutku tidak. Hal pertama yang aku pikirkan adalah pembakaran tersebut merupakan pembakaran bendera ormas terlarang yang mengancam keutuhan NKRI. Baru hal yang kedua aku pikirkan adalah dampak dari pembakaran tersebut terhadap masyarakat Indonesia saat ini yang rentan untuk "dikompori". Hal ketiga yang aku pikir, "tapi kan itu kalimat suci, emang boleh digituin?". Aku juga merasa bahwa pembakaran tersebut tidak elok, apalagi di lakukan ditengah keramaian orang dan menjadi sorotan hingga akhirnya esensi dari perayaan hari Santri hari itu ternodai oleh aksi tersebut. Kemudian aku mencari pencerahan, karena aku memang selalu sepemikiran dengan salah satu tokoh NU yaitu Gus Nadir, jadi menurutku beliau sudah cukup jelas menjelaskan hal-hal mengenai peristiwa pembakaran tersebut.




Simbol-simbol agama saat ini menurutku sudah disalahgunakan oleh oknum-oknum demi kepentingan terutama yang bersifat politis. Aku setuju dengan kalimat Gus Dur, bahwa dengan menggunakan properti agama, orang-orang akan sulit untuk meng-counter ataupun menyalahkan karena akan di cap "anti agama" ataupun yang sebagainya. Hal ini yang menurutku sedang terjadi di Indonesia, yang dimana entitas keagamaan seseorang harus dibarengi dengan simbol-simbol agama disekelilingnya. Hal ini menurutku membuat adanya gap diantara kita sebagai umat beragama. Dan menurutku, kesucian dan keagungan dari sebuah nilai agama menjadi terdegradasi karena di-simbolkan seperti itu, sehingga akhirnya simbol-simbol itu rentan untuk terlecehkan, ternodai, dan diletakkan di tempat yang kurang layak.

Kemudian permasalahan ormas terlarang yang menurutku nyatanya masih terasa pergerakannya baik secara diam-diam maupun yang masih berani unjuk gigi di hadapan publik. Pemerintah sudah jelas-jelas membubarkan ormas tersebut karena dinilai sudah mengancam keutuhan NKRI, namun dengan adanya peristiwa ini seakan-akan menggiring opini publik secara tidak langsung untuk tetap mendukung eksistensi dari ormas ini. 

"Emang udah terbukti ormas itu mengancam NKRI? Mana buktinya? Belum kan?"
Berdasarkan pengetahuan terbaik saya, tipe pergerakkan dari ormas tersebut adalah dengan sistem grassroots yang masuk ke institusi-institusi pendidikan, media sosial, ataupun perkumpulan-perkumpulan. Kenapa disebut berbahaya? Karena secara langsung mendoktrin untuk mengganti ideologi negara, mengganti sistem pemerintahan, dan membubarkan sebuah konsensus bersejarah yang telah disepakati oleh para founding fathers terdahulu. Pada akhirnya timbullah sebuah gerakan jihad versi mereka dan ini mau tidak mau akan berujung dengan tindakan ekstremisme dan radikalisme. Bukankah dengan menjaga NKRI tetap utuh juga merupakan jihad? Indonesia juga lahir karena adanya kesepakatan para ulama terdahulu, atas perjuangan para pahlawan yang tanpa mengenal suku, ras, agama rela mengorbankan nyawa untuk memerdekakan ibu pertiwi dari penjajah. Lalu jihad seperti apa lagi yang ingin "mereka" perjuangkan? Dan apakah kita harus menunggu terjadinya konflik baru kita menyadari bahwa memang sudah ada oknum-oknum yang ingin membubarkan NKRI? Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?



 "Ormas Islam mulu yang ditindak, itu OPM gimana? Kok dibiarin?"
Perlu digaris bawahi gerakan separatis dan gerakan untuk mengganti ideologi negara. OPM pada dasarnya merupakan gerakan separatis dan ditangani langsung oleh TNI, karena ancamannya mereka ingin mendirikan negara baru di daerah yang mereka kuasai. Nah kalau gerakan yang mengganti ideologi negara ini gimana? Negara yang sama, tapi semuanya mau di rombak? Pasti akan menimbulkan kekacauan dimana-mana, dan ini menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mencegah semua itu terjadi. Menurutku ini bukan masalah tendensius terhadap sebuah agama, tetapi karena kebetulan kita mayoritas adalah Islam, makanya gerakan yang muncul paling besar adalah gerakan yang mengatasnamakan Islam. Ormas agama apapun, bila mereka mengganggu kedaulatan NKRI maka wajib untuk kita hentikan pergerakkan mereka.
"Tapi kan itu kalimat suci dari zaman Rasullullah, masa di bakar? Tetap ngga boleh pokoknya! Itu kalimat suci!"


Saya tetap nigkut sama ulama-ulama NU yang berusaha untuk memberikan tulisan atas kajian-kajian mereka yang mungkin tidak semua orang dapat melakukan pengkajian yang sama. Intinya menurutku, kalimat suci tersebut sudah digunakan untuk tujuan yang tidak baik, dan inilah keresahan yang aku sebutkan diawal; bahwa oknum-oknum ini berlindung dibalik agama agar mereka sulit untuk di counter, karena setiap orang yang mencoba untuk meng-counter mereka akan dicap sebagai anti agama. Menurutku ini berbahaya, karena apabila semua orang memilih diam karena takut di cap anti agama, maka oknum-oknum yang memiliki tujuan tidak baik akan semakin memiliki panggung yang luas dan menyebar di masyarakat.

Kalaupun memang hal ini mau disamakan dengan tragedi pembakaran Al-Qur'an oleh Utsman radhiyalahu ‘anhu maka menurutku 50 sesuai & 50 kurang sesuai. Sesuainya bagaimana? Karena menurutku ketika sebuah keagungan agama digunakan untuk hal yang tidak baik, ya harus kita tolak demi menjaga kemurnian agama dan persatuan umat itu sendiri. Tetapi tidak sesuainya seperti apa? Mungkin dengan cara mengeksekusi pembakaran tersebut yang dilihat oleh khalayak banyak, dan sedikit banyak aku menangkap narasi "pembakaran Al-Qur'an itu karena terdapatnya ragam bacaan yang berpotensi menimbulkan perpecahan dalam umat, tapi ormas ini kan masih belum terbukti makar dan lainya?"
Ini kembali lagi ke awal bahwa pergerakan makar saat ini lebih cenderung grassroots dan bersifat bom waktu, apabila tidak dicegah dari sekarang. Kemarin aku sempat mendapatkan broadcast di WhatsApp dan sempat aku diskusikan juga perihal tersebut, namun sepertinya broadcast tersebut tidak termaktub dalam web resmi apapun sehingga aku terpaksa mencatut dari Facebook.




Di media sosial banyak aku jumpai perang antar netizen, dan aku menemukan banyak sekali perdebatan-perdebatan tiada henti beserta gambar-gambar bendera tauhid tersebut yang ternyata kurang mendapat perlakuan yang layak seperti yang digaung-gaungkan saat ini (diduduki, terjatuh di tanah, diinjak, dll). 


Belum lagi debat kusir yang terjadi, mempermasalahkan bendera ormas tersebut sebenarnya yang mana sih? Jadi yang dibawa ke lokasi itu sebenarnya bendera siapa? Sedangkan pihak yang pro mengklaim bahwa bendera tersebut bukan bendera ormas terlarang, pihak yang kontra mengklaim bahwa itu bendera ormas terlarang. Kalau begini ujung-ujungnya kita saling menuduh bukan? Berbagai polemik di lempar ke tengah-tengah masyarakat, membuat masyarakat bingung yang mana benar yang mana salah. Padahal menurutku sudah jelas dari dulu, jejak digital tidak dapat di ubah, dan menurutku sudah jelas darimana bendera itu berasal. Tetapi lagi-lagi, mungkin memang oknum tersebut berusaha memutarbalikkan keadaan sehingga masyarakat awam yang bingung dan pro terhadap mereka, membenarkan fakta baru yang terjadi di lapangan mengenai perdebatan bendera tersebut. Ini mengerikan, bahkan sesama umat saja kita sudah saling tidak percaya, saling menghujat, memaki, dan menjatuhkan. Parahnya lagi, peristiwa ini kembali disangkutpautkan dengan demam politik yang sedang melanda menjelang Pilpres 2019. 


Hingga pada akhir tulisan ini, aku tidak menyalahkan siapapun yang memang dengan sepenuh hatinya berusaha membela kalimat tauhid tersebut karena aku tahu bahwa setiap dari kita memiliki sense of belonging yang tinggi terhadap agama yang kita peluk saat ini. Hanya saja yang menjadi kerisauan hatiku saat ini adalah melihat kita semakin mudah terprovokasi, kita semakin mudah melemparkan cap-cap agama terhadap lawan yang tidak 'sependapat' dengan kita. Menurutku apa yang dilakukan oleh Banser kemarin merupakan wujud dari usaha untuk menjaga NKRI dan menolak hadirnya ormas yang sudah jelas dinyatakan dilarang oleh pemerintah. Mustahil rasanya untuk diterima akal olehku, bahwa orang-orang Banser tersebut anti Islam, anti simbol agama, atau anti apalah. Yang ingin mereka tolak mungkin sebenarnya adalah kehadiran dari ancaman negara tersebut, bukan kalimat tauhidnya, apalagi agamanya. Namun sayangnya, apa yang digembar gemborkan oleh media saat ini adalah seolah-olah yang ditolak adalah kalimat tauhidnya, bukan ormasnya. Sehingga stigma yang terbentuk di masyarakat jatuhnya adalah 'ketidaksukaan' dan menimbulkan rasa 'pembelaan', yang mana kondisi ini menurutku adalah sebuah "goals" yang ingin digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk membuat kita semakin renggang dan menimbulkan kebencian antar golongan. 

Tidak perlulah menurutku kita mencari-cari pembenaran, menyodorkan bukti bendera lain dengan berbagai bentuk, warna, ukuran, ditambah dengan argumentasi tendensius yang tujuannya agar bisa membuat lawan bicara skakmat. Pada akhirnya juga, kita hidup di negara Indonesia, kenapa harus ada bendera lain yang mengganti sang merah putih? Toh bukan pula kita akan dibilang lebih cinta negara daripada agama bukan? Karena mempertahankan NKRI juga merupakan jihad dan tidak ada anjuran untuk negara ini memiliki bendera dari agama manapun untuk disandingkan atau bahkan mengganti merah putih, bukan?

Dan kejadian tersebut telah di proses oleh pihak yang berwenang dan aku yakin, setiap perbuatan pasti akan ada sanksi. Terlepas dari kurang eloknya tindakan yang telah dilakukan kemarin, semoga kita sebagai warga negara sekaligus umat muslim yang rahmatan lil alamin dapat bersikap bijak dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang terjadi diantara kita saat ini. Jangan sampai hal kecilpun menjadi bensin yang dapat membakar kita. Semoga kita dapat lebih jeli melihat kondisi dan permasalahan yang terjadi agar kita tidak terus-terusan terpancing oleh amarah dan benci. Serta, semoga kita dapat lebih bijaksana dalam melakukan sesuatu hal apalagi didepan publik. Yuk damai!

0 Comments