Hakim Moral & Kebencian yang "Mendunia-maya"


Islami.com

Sudah lama aku memantau aktivitas warganet selama ini dalam lingkup bahasan politik, sosial, dan agama. Tidak bisa dipungkiri, bahwa ketiga topik tersebut sangat lekat dalam kehidupan dunia maya kita selain dunia nyata, dan dalam lingkaran pertemanan saya juga banyak yang memiliki preferensi politik dan agama. Namun, aku melihat sepertinya perdebatan serta pola kehidupan semu tersebut semakin toxic dan cukup mengganggu pikiran selama ini. Terutama dalam membahas soal agama. Hal yang men-trigger aku akhirnya menulis kali ini adalah, kasus Gita Savitri kemarin, yang menurutku ini sudah keterlaluan meskipun tak jarang aku melihat sekelas ulama juga diserang oleh warganet yang katanya "beragama" itu. Oh iya, akan ada banyak yang kubahas dalam tulisan ini.

Story dari @gitasav


Perbedaan pendapat itu sebenarnya wajar, yang tidak wajar jika ada yang berbeda pendapat tetapi memaksakan pendapatnya, ini yang berbahaya. Aku setuju dengan Gita, untuk apa kita mencari-cari kesalahan orang lain kalau kita udah yakin dengan diri kita sendiri, simple nya begitu kan? Aku yakin tidak ada satu agamapun yang mengajarkan kejahatan ke pemeluknya, yang ada cuma pemeluk agama yang menyalahtafsirkan agama itu sendiri sehingga agama digunakan sebagai tameng untuk melakukan kerusakan, kepuasan politik, merasa superior, dan berhak menjustifikasi orang lain. Namun parahnya, aku rasa bukan baru-baru ini saja bahwa maaf, orang-orang yang melabeli diri mereka sebagai orang yang membela agama dan menyerang orang-orang yang berseberangan dengan mereka (seperti kasus Gita), justru menggunakan bahasa kasar, mengancam, melabeli orang dengan kata-kata liberal, sekuler, pluralis, tidak paham agama, anti agama, dll. 

Aku tidak menjustifikasi semua orang konservatif "jelek" dalam konteks ini, karena disisi lain aku juga memiliki teman konservatif namun open minded, enak diajak berdiskusi, dan enggan menjadi hakim orang lain.

Dunia maya sebagai sebuah dunia baru menyuguhkan kemudahan dalam akses informasi, sehingga aku juga tidak jarang menemui perdebatan antara kelompok moderat dan konservatif radikal dengan membawa-bawa "ustad online, ngaji online, dsb". Baik moderat maupun konservatif, kadang sama-sama radikal dalam berpendapat.

Kemudian mengenai liberalisme, sekularisme, dan pluralisme,  sempat aku bahas dalam tulisan kemarin "MENGULIK TANTANGAN RADIKALISME & TRILOGI YANG "DIHARAMKAN" dan aku rasa seharusnya tidak ada masalah dengan hal-hal tersebut, justru itu adalah nilai yang baik apabila kita yang mengaku sebagai orang beragama yang mampu mengatur pemikiran, sikap, dan tutur kata dengan tetap berpegang teguh pada pedoman hidup dan agama.

Sejatinya, perbedaan sengaja dianugerahkan Tuhan bukan sekadar untuk saling mengenal, melainkan secara implisit di sana ada juga himbauan untuk bertukar nilai-nilai peradaban, untuk saling memberi dan menerima keberbagaian, pluralitas. Tetapi yang banyak disalahpahami oleh orang-orang tertentu, pluralisme itu dianggap mengakui semua agama benar, semua agama sahih. Tentu saja, paham semacam itu konyol. Dengan paham seperti itu orang boleh lalu-lalang pindah agama. Sehingga, tafsiran terhadap pluralisme seperti itu adalah “kampungan".[1]

Ditambah lagi dengan adanya kontestasi politik 5 tahunan, yang semakin membuat aku cukup sakit kepala melihat media sosial saat ini, tidak usah jauh-jauh untuk aku melihat warganet melalui kolom komentar public figure, di timeline Facebook & Instagram dalam lingkup teman bahkan orang-orang tua yang aku hormati, terkadang juga toxic dalam membagikan status ataupun mengomentari hal yang mereka tidak sukai. Lagi-lagi, politik identitas adalah sebuah hal yang harus dimenangkan, eksklusivisme kelompok, serta penonjolan identitas agama adalah hal-hal yang tidak bisa lepas dari oknum-oknum yang aku sebut diawal sebagai konservatif radikal. Kadang aku heran, setiap hari selalu membagikan postingan dakwah, tetapi tak jarang juga membagikan postingan "menjatuhkan, mencaci, bahkan menantang" dan menurutku itu sangat tak elok dan tidak merepresentatifkan nilai orang-orang beragama (apalagi sampai "petinggi agama" yang melakukan hal itu).

Data Kemenkominfo menyebutkan bahwa ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Internet telah salah dimanfaatkan oknum tertentu untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan cara menyebarkan konten-konten negatif yang menimbulkan keresahan dan saling mencurigai di masyarakat.[2]

Saat ini sepertinya bukan lagi lidah yang setajam pedang, namun jempol yang paling menghancurkan. Bayangkan, hasil ketikan 5 menit informasi bisa tersebar keseluruh dunia, fitnah dan hoaks sudah meracuni masyarakat sehingga masyarakat sampai bingung membedakan yang mana asli dan palsu. Apakah mereka tidak berpikir bahwa segala ujaran kebencian, fitnah, hoaks, dan "nyinyir" mereka itu akan diminta pertanggungjawaban di akhirat nanti? Ataukah hal itu menurut mereka adalah remeh temeh?
From instagram @warganetbersabda



الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
"Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan." - QS. Yasin : 65


From instagram @warganetbersabda

Imam Bukhari meriwayatkan dari shahabat Anas r.a. yang berkata:
“لم يكن رسول الله صلى الله عليه وسلم فاحشا ولا لعانا ولا سبابا ..”
Rasulullah SAW orangnya tidak keji dan kasar, tidak tukang melaknat, dan tidak suka mencaci..[3]

Saat ini fitnah tidak hanya dari mulut, tapi sekarang bisa dari jempol bisa jadi fitnah. Karena itu dalam segala hal kita dituntut untuk mengedepankan akhlak atau moral. Moral itu itu lebih utama daripada ilmu. Banyak orang berilmu tapi tidak bermoral maka makin hancur jadinya. Dengan situasi dan kondisi perkembangan dunia digital yang ada, kata ustadz Baidawi, setiap orang hendaknya memperhatikan empat hal. Pertama, tawasuthiyah, bagaimana kita memposisikan diri menjadi orang yang moderat. Kedua, tawazun yaitu harus berimbang. Ketiga tasamuh atau toleransi dan keempat adalah ta’adul atau keadilan, yang merupakan pola integral dari tawassuth, tasamuh, dan tawazun.[4]

Fenomena ini merupakan bentuk matinya kepakaran (the Death of Expertise) dalam bidang agama. Era digital sering disebut sebagai era matinya kepakaran. Adanya sistem egaliter sangat memungkinkan semua orang bisa menyuarakan pemikiran agamanya di ruang publik, terutama dunia maya. Semua bebas berfatwa meskipun tidak disertai rujukan-rujukan autoritatif. Orang yang baru bahkan tidak pernah belajar agama pun punya hak untuk bersuara tentang agamanya. [5]

Persoalan hitam-putih juga menjadi momok yang harus sama-sama dibenahi saat ini, orang-orang konservatif radikal cenderung menghitam-putihkan segala sesuatu hal, padahal tentu ada perbedaan pendapat dan masing-masing memiliki dalil yang menjadi pegangan. Aku yakin diluar sana ada banyak orang moderat yang tidak setuju dengan hal tersebut, namun cenderung diam sehingga menjadi silent majority. Sehingga yang terlihat berkuasa di media sosial adalah orang-orang galak, namun bukan berarti tidak ada, orang-orang moderat tersebut ada namun jumlahnya sedikit. Islam mayoritas yang diam sudah lumayan berbicara untuk merespon mereka. Bahkan dalam batas tertentu Kyai Hasyim dulu mendirikan NU juga dalam rangka merespon watak destruktif purifikasi Islam ala wahabisme. Artinya, dalam arti ini, sudah sejak lama berbicara dan telah berbicara. Namun apa yang dilakukan para ulama dahulu dengan kondisi sekarang berbeda. Kita sekarang menghadapi persoalan yang makin kompleks dan tak memadai hanya dengan bermodal imperatif moral atau panduan berbuat baik dalam agama. [6]

Bagi orang-orang konservatif radikal, orang-orang yang berani speak up against them (contoh kasus Gita) ataupun meng-counter dengan argumen, tak jarang di cap "menjelekkan agama" itu sendiri, liberal, tidak paham agama, disuruh belajar agama lagi (tak jarang aku mendapatkan justifikasi seperti ini). Aku bingung, menjelekkan darimananya? Apakah mereka terlalu denial dengan fakta yang ada tentang diri mereka sendiri? Ataukah merasa insecure? Akhirnya, muncullah narasi "pemerintah anti-agama", "ketidakberpihakan dengan agama tertentu", "merasa menjadi minoritas di negara sendiri", dan narasi lainnya. 
Karena merasa tidak laku, pendukung “kakuan” ini selalu menggunakan cara-cara kasar, kekerasan, premanisme, dan pemaksaan untuk memasarkan dagangan “kakuan” mereka. Karena itu memang satu-satunya cara untuk mendagangkan “kaku” itu. Kalau laku kan ngapain repot-repot pakai cara-cara kekerasan, kan? [7]

Kembali lagi ke permasalahan perbedaan pendapat pada kasus yang telah aku sebutkan di awal, kedua belah pihak benar, menurut pendapatnya masing-masing. Karena semua punya pegangan sendiri, bukan? Tetapi yang perlu diingat bahwa kita hidup dalam masyarakat plural, etis kah kalau kita berdakwah dengan "menjatuhkan" pihak lain didepan umum? Aku pernah berdiskusi dengan Pak Nurul Huda Maarif Pengasuh pesantren Qotratul Falah Banten, bahwa beliau menganalogikan agama Islam seperti handphone seri terakhir, yang menyempurnakan handphone-handphone seri sebelumnya, dengan segala macam peningkatan kapasitas didalamnya. Lalu apakah kita bisa bilang kalau handphone seri sebelumnya itu bukan handphone

Dalam al-Quran surat al-Hujarat ditegaskan: Kami ciptakan kalian syu‘ûban wa qabâ’ila (berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku) li-ta‘ârafû (supaya saling berkenalan). Jadi, sejatinya, perbedaan sengaja dianugerahkan Tuhan bukan sekadar untuk saling mengenal, melainkan secara implisit di sana ada juga himbauan untuk bertukar nilai-nilai peradaban, untuk saling memberi dan menerima keberbagaian, pluralitas.[8] Bahkan didalam Islam sendiri banyak pendapat ulama yang berbeda, ada mahzab pula. Lalu aku heran melihat kelompok konservatif radikal ini mempertahankan argumentasi mereka dengan menutup mata, pikiran, dan telinga mereka akan perbedaan pendapat tersebut, intinya : kalian salah, pendapat kami benar!
Beberapa hari ini aku juga ikut terpancing untuk berdebat dengan orang-orang tersebut, di postingan Mata Najwa seri Prof. Quraish Shihab & Romo Budi yang mendiskusikan tentang pengucapan selamat natal.



Bayangkan, sekelas Prof. Quraish Shihab yang sanad keilmuannya sudah jelas saja, masih dicap "sesat", "syiah", dan kata-kata hujatan lainnya, yang bahkan mereka tak pernah membaca biografi ulama yang dituduh tersebut. “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” [HR Bukhari] [9]

Tentu aku sepakat dengan Prof. Quraish Shihab (bahkan sepuh-sepuh NU) lainnya mengenai hal tersebut dengan dasar mujamalah dan muhasanah. Karena saat ini Indonesia sedang diterpa isu toleransi yang memecah kerukunan diantara kita, ya kembali lagi seperti tadi, yang mau menjalankan silahkan, yang tidak juga silahkan tapi jangan sampai saling menyalahkan. Saat ini kebangkitan moderat mulai terjadi, jikalau dulu narasi-narasi hitam-putih ala konservatif banyak digemporkan, namun saat ini narasi kebangsaan dan moderat disebarluaskan pula untuk menjadi penengah. Untung, selama aku mencoba "berdebat", aku juga pernah menemui warganet yang justru tidak ngegas, dan aku selalu menekankan bahwa "itu loh perbedaan pendapat, kenapa kalian maksa banget sih?", dan berakhir dengan menghargai pendapat masing-masing. Kan begitu, lebih adem, bukan? Namun tidak dapat dipungkiri bahwa berdebat seperti itu justru menguras emosi, pikiran, tenaga, dan ini tidak membuatku nyaman tentunya. Makanya, aku hanya lebih suka untuk memantau, dan sekali mencoba untuk tahu rasanya ikut dalam hal tersebut.

Tidak hanya Prof. Quraish, nasib yang sama (dituduh sebagai penganut Syiah) juga dialami oleh KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama saat ini. Dalam sebuah forum dialog, seorang audiens berbicara, menuding alumnus Universitas Umm al-Qura Mekkah, Arab Saudi, ini penganut dan pembela Syiah. Di forum itu juga, Kiai Said membantahnya. Tetapi apakah para penuduh itu kemudian berhenti? Ternyata tidak. Mereka yang menuduh, tetap menebar kabar. Mereka yang bergosip, terus saja berbisik. Bahkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang, Jawa Timur pada Agustus 2015 lalu, isu ini juga menjadi dagangan laris manis untuk menjatuhkan nama Kiai Said.[10]

Betapa kejam bukan fitnah saat ini? Orang-orang yang membenci seolah-olah memiliki fakta empiris untuk menuduh orang yang mereka benci dengan segala argumentasi menjatuhkan, sekelas ulama saja dapat dituduh macam-macam, apalagi dalam musim politik ini. Secara tak langsung sikap-sikap ini yang membentuk sikap intoleran, eksklusivisme, dan superior. Bahkan ketika kemanusiaan sudah tersekat-sekat oleh sikap "alergi" akibat eksklusivisme, maka duduk bersebelahan di bus TransJakarta pun 'harus seagama'.[11]



Ujaran kebencian ini menular. Jika seseorang menganggap pembuat ujaran kebencian sebagai sosok yang kredibel, berkuasa, dipanut, atau diyakini setiap ucapannya adalah kebenaran, maka ia akan menyebarkan berita-berita buruk serupa soal objek ujaran kebencian. Tak peduli yang dikonsumsi dan didistribusikannya berita bohong atau opini personal sekalipun, selama ia bisa menyalurkan hasrat mengutarakan ketidaksukaannya, hal itu dianggap sah-sah saja untuk dibaca dan dibagikan.[12]

Penutup bagi tulisan ini, garisbawahi bahwa disini aku tidak menjelekkan agama Islam itu sendiri, justru aku memaparkan fakta bahwa inilah yang terjadi diantara kita. Dan buat orang-orang yang menuduh aku macam-macam :

"Kan itu gak semuanya! Itu cuma oknum."
Iya memang tidak semuanya, sudah aku bilang diawal. Tapi oknum inilah yang geraknya masif, jadi barisan image di agama yang paling awal karena ulah seperti ini, lalu apa terus kita biarkan?
"Belajar lagi agama gih!"
Alhamdulillah, aku udah belajar tapi tidak perlu dikabar-kabarin kan lewat medsos?
"Ah, ikut pemikiran liberal, sekuler, bla bla bla."
Pada intinya aku merujuk ke ulama-ulama ahlussunah wal jamaah NU, yang sudah sejak kemerdekaan RI terbukti menjaga perdamaian dan menjadi pelopor toleransi di Indonesia hingga saat ini. Sejauh saya bersosial media dan mengikuti akun-akun NU, saya tidak pernah lihat ulama-ulama NU marah-marah ataupun berkata kasar, justru saya melihat bahwa pengikut-pengikutnya justru lebih woles namun tetap berilmu seperti padi berisi makin merunduk. Kalo kata Gus Dur, "Gitu aja kok repot!"




Rujukan :

1. Islamku, Islam Anda, Islam Kita hal. 243
2. https://kominfo.go.id/content/detail/12008/ada-800000-situs-penyebar-hoax-di-indonesia/0/sorotan_media
3. https://islami.co/akhlak-mulia/
4. https://islami.co/kecerdasan-digital-dan-pemahaman-al-quran-penting-di-era-hoaks-dan-hatespeech/
5. https://islami.co/selamat-datang-di-era-matinya-kepakaran-dalam-agama/ 
6. https://islami.co/mayoritas-yang-diam-konservatisme-yang-meningkat/
7. https://islami.co/islam-kaku-tidak-laku/
8. Membela Kebebasan Beragama Jilid 1, hal. 241-242
9. http://www.nu.or.id/post/read/72224/berkatalah-yang-baik-atau-diam-saja
10. https://geotimes.co.id/kolom/quraish-shihab-sunni-syiah-dan-umat-yang-terbelah/
11. https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-42942628
12. https://tirto.id/mengapa-orang-membuat-ujaran-kebencian-cqJK

0 Comments