The First Crossroad


credit to google


Setelah insiden batal berangkat ke Singapura & Surabaya kemarin, akhirnya aku berjibaku dengan penelitian skripsiku selama 1 bulan lebih. Penelitian yang dimulai persis di hari seharusnya aku berangkat ke Surabaya pada tanggal 25 Oktober kemarin. Tetapi memang ini merupakan jalan yang terbaik, karena ternyata penelitianku membutuhkan waktu yang cukup lama serta tenaga yang ekstra untuk menyelesaikan pengambilan sampel. Selama sebulan lebih itu, aku benar-benar fokus dan beberapa tugas diluar kampus terpaksa aku abaikan untuk sesaat. Aku semakin dikejar waktu, bagaimana tidak? Batas terakhir untuk angkatan 2015 maju sidang adalah 26 Desember ini, agar bisa ikut modul terakhir di fase pre-klinik ini. Tak sedikit yang akhirnya tancap gas untuk ngebut mengejar sidang akhir, tak terkecuali aku. Tanggal 28 November aku selesai mengambil data, dan mulai mengolah data meskipun sembari penelitian sebulan kemarin aku menyicil untuk input data agar semuanya tidak numpuk di akhir dan memperlambat. Waktuku hanya sekitar 1 bulan lagi untuk sidang akhir, aku berusaha untuk mengerjakan pembahasan dan lainnya secara cepat. Tanggal 3 Desember malam aku & teman-teman dosen pembimbing yang sama mendapat arahan didalam grup bimbingan untuk sidang paling telat tanggal 14 Desember karena beliau ingin cuti. Kaget? Pasti. Pembahasanku masih sangat mentah, dengan variabel yang sangat banyak untuk dipaparkan, setengah mati aku menyelesaikan bab 4 dalam kurun waktu 5 hari. Akhirnya aku memutuskan untuk maju tanggal 14 saja.

Ketika bertemu dosen pembimbing besoknya (tanggal 4), aku diberi target untuk maju tanggal 13, karena 14 ternyata beliau sudah cuti. Aku mengiyakan meskipun rasanya "mustahil, gila!", dan itu berarti waktuku tinggal 9 hari lagi. Untungnya aku sudah mulai menyicil persyaratan-persyaratan skripsi seperti surat bebas perpustakaan, transkrip, dll. Namun masih ada beberapa yang kecolongan. 9 hari tersebut benar-benar menguras emosi, tenaga, serta pikiranku. Disaat yang bersamaan, aku harus kejar-kejaran mengurus persyaratan chekclist skripsi, dan terus merevisi pembahasanku bahkan konsultasi saja kurang dari 5 kali karena dosen pembimbingku sibuk saat itu. Beberapa kali pertemuan konsul aku harus berbagi waktu juga dengan teman-teman satu bimbinganku, dan dikejar waktu karena dosen pembimbingku memiliki kesibukkan lain, namun aku bersyukur hasil koreksian dari dosen pembimbingku merupakan bagian vital yang penting untuk aku perbaiki. Meskipun 90% sisa pembahasanku masih belum terkoreksi sehingga aku menginisiatifkan untuk memperbaiki terus sesuai dengan pemikiranku sendiri. Sepanjang waktu 9 hari aku dirundung stress luar biasa, pemikiran "aku takut nanti nilai sidang aku C karena aku buru-buru maju, makalahku jelek, persiapan nol besar", itu terus menghantui ditambah dengan insiden-insiden yang menguras emosi terkait kehidupan mahasiswa bimbingan. Hingga pada akhirnya di detik-detik terakhir, 2 hari sebelum maju sidang aku konsultasi terakhir dan dosen pembimbingku mengatakan bahwa makalahku sudah cukup baik. Disitulah aku sedikit merasa lega.

Momen itu, aku menyadari satu hal, bahwa aku sangat sangat overthinking dan cemas berlebihan. Aku saat itu sangat pesimis dengan kenekatanku untuk tetap maju tanggal 13 Desember dengan kondisi makalah yang 80% belum direvisi, persiapan kurang, persyaratan belum lengkap, dan lain-lain. Ditambah lagi aku harus ujian Forensik tanggal 10, membagi pikiranku untuk belajar. Yang kutakutkan paling besar sebenarnya adalah penguji skripsiku, karena mereka adalah dosen epidemiologi yang sangat mengerti perihal penelitianku, disitu aku sudah drop karena aku berpikir pasti aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka nanti. Untungnya, dalam kondisi mepet seperti ini ada sahabat-sahabatku yang membantu aku untuk menyelesaikan detail-detail kecil makalahku (lampiran, jilid, dll) sampai membantu print dan tidak tidur hingga jam 4 subuh padahal paginya kami harus ujian Forensik. Aku terharu. Jujur, tanpa adanya mereka aku tidak tahu bagaimana jadinya skirpsiku yang tebalnya mencapai 150-an halaman itu. Oh iya aku lupa menjelaskan persyaratan untuk skripsi digunakan untuk pembuatan surat undangan ujian skripsi, dan peraturannya sebenarnya harus diajukan H-7 sebelum sidang, dan surat undangan ujianku baru jadi hari rabu, besoknya aku sidang. Aku banyak merepotkan asisten dekanat dan merasa tidak enak karena aku seperti hantu yang terus menghantui mbak itu untuk followup surat undangan :")

Hingga tibalah hari yang dinanti, tidak terlalu mendebarkan, rasanya sudah pasrah dan sangat lelah. Aku ingin mengakhiri semuanya dengan cepat. Sesi tanya jawab ternyata tidak seperti yang aku bayangkan, bahkan tidak setegang saat seminar proposal kemarin. Sampai di penilaian penguji-pembimbing, disitu aku mulai berdebar-debar, "luluskah aku?". Alhamdulillah, ternyata lulus. Aku bersyukur, sangat bersyukur. Terimakasih untuk semua orang yang sudah membantu untuk support dan lainnya, terimakasih. Aku bisa benar-benar lega dan bersiap untuk melanjutkan ke modul terakhir di bangku kuliah ini. Mungkin bagi sebagian orang merasa aku sangat cepat menyelesaikan skripsi, memang di kedokteran sistemnya sangat berbeda. Skripsi dijadikan syarat untuk ikut modul "terakhir" itu, sehingga memang semua mahasiswa harus sidang maksimal semester 7 sebelum modul itu dimulai. Sekedar informasi, meskipun sudah sidang akhir bukan berarti kita tidak kuliah lagi, malah tetap melanjutkan kuliah hingga semua modul selesai (jika tidak ada yang mengulang karena mendapat C) yaitu di semester 7, jadi jangan heran bahkan ada temanku yang sudah sidang akhir di semester 5, namun semuanya akan sama-sama selesai di semester 7.



Oke setelah S. Ked, selanjutnya apa? 
Selanjutnya adalah, aku mulai berpikir. Berarti setelah ini aku akan masuk ke fase yang lebih serius, yaitu koas atau fase klinik selama 2 tahun di rumah sakit sebagai salah satu jenjang pendidikan profesi untuk mendapatkan gelar dokter. Siapkah aku untuk mempraktekkan semua ilmu yang sudah aku dapatkan selama ini? Siapkah aku untuk membantu menyelamatkan nyawa orang di UGD nanti?
Namun, yang lebih mengganjal pikiran saat ini adalah aku harus menyelesaikan koas secepat mungkin. Mimpiku di bangku maba kembali lagi mengganggu pikiranku, I'm wondering now, if I were an International Relation student, what would I do next? Jikalau aku adalah mahasiswa HI, berarti saat ini aku sudah sibuk untuk mempersiapkan apply beasiswa, apply program, mempersiapkan untuk PPAN, dan merintis karirku sebagai seorang diplomat. Tapi kenyataannya adalah, bahwa aku harus menghabiskan 2 tahun lagi, bahkan mungkin 3 tahun (jika pada akhirnya nanti aku ikut internship yang pada dasarnya memang kewajiban setiap dokter setelah lulus koas), menunda lagi semangatku untuk mencapai mimpi-mimpiku yang sudah ada sejak dulu.



Kegalauan itu kembali lagi menghantui, aku yang selama ini sudah berusaha untuk sabar dan menikmati apa yang aku jalani, kembali berpikir dan kepikiran terus menerus. Aku tidak tahu apakah nanti saat koas, aku bisa lebih aktif mengikuti kegiatan dibandingkan saat aku masih duduk di bangku S1. Tapi sekarang aku mencoba apply beberapa program, meskipun program tersebut dijadwalkan saat weekdays. Aku coba untuk melihat situasi di lingkungan baruku nanti. Bukan tak bersykur, namun ada rasa "tak rela" untuk melanjutkan kehidupan baruku di tahun depan nanti. Kepala ini disesaki kata-kata "What if, if I, How if..", kemudian hadir ketakutan bahwa teman-teman yang seangkatan denganku, apapun fakultasnya, akan merintis kehidupan baru mereka tahun depan bukan sebagai seorang "mahasiswa" lagi, mereka akan pergi ke luar negeri, mengikuti program yang seharusnya aku juga bisa ikut, mencapai mimpi-mimpi yang seharusnya aku bisa ikut capai juga saat itu. Ketakutan ini pada akhirnya akan membuat aku down, sedih, dan tidak fokus. Ah, selama ini saja aku sudah coba berusaha untuk tidak "iri" dengan orang-orang disekitar yang berhasil meraih apa yang aku impikan.

Kalau aku kembali bertanya, apakah aku berjalan di arah yang salah saat ini? Jawabannya : aku sudah terlanjur berjalan cukup jauh, dan tidak mungkin lagi aku berputar arah. Mungkin saat ini yang aku bisa coba lakukan adalah, kembali merenung, menerka-nerka alasan logis mengapa aku harus terus berjalan, dan bersabar (lagi). Semua orang punya jalannya masing-masing, ya aku yang selalu mengucap kalimat itu kepada orang-orang. Tapi bagiku sendiri diposisi seperti ini, jalan ini sebenarnya akan berakhir dimana sih? Apakah aku dijalan yang benar? Tidak mungkin berbalik arah!
Persimpangan pertama telah berhasil aku lalui, masih ada satu atau bahkan 2 persimpangan lagi didepan sana hingga akhirnya aku bisa menemukan akhir dari jalan kehidupan ini. Seandainya parallel universe itu memang nyata ada dan aku boleh menengok sebentar, aku ingin tahu kira-kira di dunia itu, jalan apakah yang sedang "aku" lalui saat ini? Samakah, atau berbeda? 


0 Comments