Siapa
yang tidak mengenal antibiotik? Setiap orang tentu pernah mendengar sebutan
obat yang satu ini. Antibiotik merupakan obat untuk membunuh bakteri, secara
umum sering kita jumpai di apotek-apotek dan dapat dibeli secara bebas oleh
masyarakat, contohnya amoxicilin, tetrasiklin, ciprofloxacin, eritromisin, dan
lainnya. Penggunaan antibiotik secara bebas ini terkadang membuat kita tidak
perlu datang ke dokter untuk meminta resep lagi ketika gejala demam/batuk/flu
timbul, tinggal datang ke apotek dan membeli salah satu antibiotik diatas,
kemudian meminum sesuai dengan “perasaan”. Kemudian, kita mungkin sering
mendengar dokter menyuruh untuk menghabiskan antibiotik yang telah diresepkan,
tetapi ketika sudah merasa “sembuh”, antibiotik yang telah diresepkan tidak
diminum lagi dan disimpan, diminum kembali apabila timbul gejala serupa di lain
waktu. Sayangnya, dua contoh tadi merupakan sebuah kesalahan fatal yang dapat
membuat bakteri penyebab penyakit saat ini menjadi lebih kuat, alias resisten.
Sejak
ditemukannya antibiotik pertama oleh Paul Ehrlich pada tahun 1910 untuk
mengobati penyakit sifilis, hingga saat ini perkembangan antibiotik cukup pesat
dan menghasilkan banyak sekali produk terutama dalam kepentingan medis.
Antibiotik dapat dibuat dari bahan organik (enzim yang dihasilkan oleh fungi/jamur) atau secara sintetik.
Sedangkan jenis antibiotik itu sendiri dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu broad spectrum (memiliki kemampuan untuk
membunuh bakteri secara luas) dan narrow
spectrum (memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri secara spesifik antara
gram positif atau gram negatif saja). Lalu
gimana sih antibiotik itu bisa mempengaruhi bakteri? Ternyata ada dua mekanisme
kerja antibiotik, yaitu membunuh (bakterisid) contoh amoxicilin, atau
menghambat pertumbuhan bakteri (bakterostatik) contohnya tetrasiklin dan eritromisin.
Namun, perlu diingat bahwa tidak semua bakteri itu berbahaya. Kenapa? Karena di
seluruh tubuh kita memiliki bakteri baik yang disebut flora normal tubuh.
Fungsinya untuk menjadi pasukan biologis untuk melawan bakteri jahat yang
datang dari lingkungan (selain kulit dan cairan tubuh), bahkan flora normal ini
memberikan keuntungan dengan membantu membusukkan sisa-sisa makanan untuk
menjadi feses di usus besar (E. coli). Tetapi, flora normal ini akan menjadi
jahat apabila jumlahnya berlebihan atau berada di lokasi yang tidak sesuai.
Kemudian
apa hubungannya dengan minum antibiotik yang tidak sesuai dengan kejadian
resistensi pada bakteri? Nah, penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasi
dan tidak rasional akan membuat bakteri menjadi kebal dengan “senjata” yang
kita gunakan untuk melawan mereka. Kita coba ambil kasus ketika bersin-bersin
dan batuk 1 atau 2 hari, orang langsung membeli antibiotik dan meminumnya,
padahal belum tentu gejala tersebut disebabkan oleh bakteri, sebagian besar
disebabkan oleh virus sehingga ini yang disebut dengan penggunaan antibiotik
tidak tepat indikasi. Selanjutnya, ketika kita membeli antibiotik sendiri dan
meminum sesuai dosis “perasaan” ataupun tidak menghabiskan antibiotik yang
diberikan oleh dokter, maka ketika gejala yang dirasakan “membaik” dan kita
berhenti meminum antibiotik disitulah biasanya titik dimana bakteri tersebut
masih ada didalam tubuh dan belum 100% terbunuh.
Karena
bakteri yang masih hidup tersebut akan dapat belajar dari “kematian”
teman-temannya yang lain akibat serangan dari “senjata” yang kita masukkan
kedalam tubuh. Sehingga bakteri tersebut akan membuat “benteng pertahanan”
baru, yang mungkin awalnya hanya mantel kulit tapi sekarang di-upgrade menjadi mantel besi, sehingga
tentu “senjata” lama tidak dapat membunuh bakteri tersebut. Akhirnya? Timbullah
resistensi antibiotik, bakteri kembali membelah diri dan semakin banyak, gejala
muncul kembali bahkan lebih berat, dan harus mendapatkan antibiotik lain yang harganya
mungkin lebih mahal atau susah dicari akibat antibiotik umum yang sudah
resisten. Tentu ini akan membahayakan kita semua. Orang-orang yang mengalami
infeksi ulang akibat bakteri jahat yang tidak sempurna dimusnahkan, tentu akan
dapat menyebarkan bakteri tersebut ke lingkungan sekitarnya. Jika yang tersebar
adalah bakteri-bakteri resisten tersebut, maka tentu orang yang terpapar
selanjutnya akan mengalami gejala yang sama dan tidak bisa disembuhkan dengan
antibiotik biasa yang sudah menimbulkan resistensi.
Saat
ini kasus nyata resistensi yang menjadi fokus utama para klinisi kesehatan
adalah methicillin-resistant S. aureus
(MRSA) adalah salah satu bangsa S. aureus
yang resisten terhadap antibiotik, termasuk methicillin dan antibiotik yang
umum dipakai seperti oxacillin, penicillin, amoxicillin, dan cephalosporin.
Kasus ini banyak ditemukan pada orang yang dirawat di rumah sakit, di panti jompo, maupun pusat
perawatan kesehatan. Selain itu, multidrug
resistant (MDR) atau resistensi terhadap beberapa jenis obat (biasanya
lebih dari 2) juga merupakan ancaman mengerikan, kasus ini sering ditemui pada
pasien tuberkulosis yang tidak patuh meminum antibiotik. Pasien TB yang sekali
tidak patuh meminum antibiotik akan memberikan ruang bagi bakteri TB untuk
memodifikasi benteng pertahanannya di dalam paru. Sehingga itulah kenapa pada
pasien TB tidak boleh satu kalipun bolong meminum antibiotik, sehingga apabila
bolos meminum antibiotik, maka dia harus mengulang pengobatan antibiotik dari
awal untuk mencegah timbulnya MDR dan mencegah penularan kepada orang lain
bakteri hasil MDR tersebut. Sayangnya, peningkatan kasus resistensi bakteri saat
ini masih belum dimbangi dengan penemuan antibiotik baru yang sesuai.
Berdasarkan
Laporan terakhir dari World Health
Organization (WHO) dalam Antimicrobial
Resistance: Global Report on Surveillance menunjukkan bahwa Asia Tenggara
memiliki angka tertinggi dalam kasus resistensi antibotik di dunia, khususnya
infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus
aureus yang resisten terhadap Methicillin, sehingga mengakibatkan menurunnya
fungsi antibiotik tersebut. Tentu saja dengan adanya efek resistensi baik MDR
atau MRSA tersebut akan memberikan dampak langsung seperti meningkatnya angka
kesakitan dan menyebabkan kematian, perpanjangan penyakit (prolonged
illness), meningkatnya resiko kematian, semakin lamanya masa rawat
inap di rumah sakit dan meningkatnya
biaya serta lama perawatan, kemudian meningkatnya efek samping dari penggunaan
obat ganda dan dosis tinggi. Ketika respon terhadap pengobatan antibiotik ini
menjadi lambat bahkan gagal, pasien akan menjadi infeksius untuk beberapa waktu
yang lama dan membawa bakteri jahat didalam tubuhnya (carrier). Hal ini
memberikan peluang yang lebih besar bagi bakteri resisten itu untuk menyebar
kepada orang lain. Kemudahan transportasi dan globalisasi saat ini sangat
memudahkan penyebaran bakteri resisten baik antar daerah, negara, bahkan lintas
benua. Semua hal tersebut pada akhirnya akan dapat meningkatkan jumlah orang
yang terinfeksi dalam komunitas masyarakat.
Oleh
karena itu, sekarang ayo kita mulai menggunakan antibiotik secara bijak dengan
konsultasi kepada dokter dan menghabiskan antibiotik yang diresepkan, serta
tidak lupa untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih, dan menerapkan pola
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) untuk mengurangi angka kejadian infeksi
yang disebabkan oleh interaksi lingkungan dan manusia.
Artikel ini diterbitkan di Koran Suara Pemred Kalbar Edisi 247 Tahun V, 24 Januari 2019
0 Comments